MATERI FIQIH KELAS XII
SEMSTER I
PELENGKAP SUMBER HUKUM ISLAM
A. Ijtihad dalam hukum Islam
1. Pengertian Ijtihad
Ijtiha menurut bahasa berasal dari
kata
Artinya : Pencurahan segala kemampuan untuk
mendapatkan hukum syara' melalui
dalil-dalil syara' pula"
Jadi dengan demikian, ijtihad adalah
mencurahkan seluruh kemampuan untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan
istinbath ( mengeluarkan hukum ) dari Al-Qur’an dan Al-Hadits. Orang yang
melakukan ijtihad disebut Mujtahid.
Imam Al-Ghazali mendefinisikan
ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh dari seorang mujtahid dalam upaya
mengetahui atau menetapkan hukum syariat.
Berdasarkan
definisi di atas, maka ijtihad hanya dibenarkan bagi peristiwa atau hal-hal
yang tidak ada dalilnya yang qoth'i, atau tidak ada dalilnya sama sekali.
1. Hukum ijtihad
Menurut Syeikh Muhammad Khudlari, bahwa hukum ijtihad itu
dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu :
a. Wajib ‘Ain, yaitu bagi seseorang yang
ditanya tentang sesuatu masalah dan masalah itu akan hilang sebelum hukumnya
diketahui. Atau ia sndiri mengalami suatu peristiwa yang ia seniri juga ingin
mengetahui hukumnya.
b. Wajib kifayah, yaitu apabila seseorang
ditanya tentang sesuatu dan seseuatu itu tidak hilang sebelum diketahui
hukumnya, sedangkan selain dia masih ada mujtahid lain. Apabila seorang mujtahid
telah menyelesaikan dan menetapkan hukum sesuatu tersebut, maka kewajiban
mujtahid yang lain telah gugur. Namun bila tak seorang pun mujtahid melakukan
ijtihadnya, maka dosalah semua mujtahid tersebut.
c. Sunnah, yaitu ijtihad terhadap suatu
masalah atau peristiwa yang belum terjadi.
3. Peranan dan kedudukan hasil
ijtihad
a. Peranan ijtihad
Ijihad sangat diperlukan dan
memiliki peranan yang sangat penting dalam mencari sandaran hukm yang benar,
mengingat banyak masalah yang secara jelas belum ditentukan hukumnya baik dalam
Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Karenanya, Islam memberikan peluang kepada umatnya
yang mempunyai kemampuan untuk melakukan ijtihad. Sebagaimana dianjurkan dalam
Al-Qur’an Surat Al-Hasyr ayat 2 yang berbunyi :
Artinya: Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran,
wahai orang-orang yang mempunyai pandangan. ( QS.
Al-Hasyr : 2 ).
Hadits Nabi Muhammad SAW :
Artinya : "Jika seorang hakim
menghukum, lalu ia berijtihad kemudian ijtihadnya itu benar, maka is mendapatkan dua pahala, apabila iamenghukum, dan berijtihad dan ternyata ijtihadnya
salah, maka mendapat satu
pahala". (HR. Bukhori dan Muslim) .(DEPAG 2002, hal 271-272)
Dengan demikian, ijtihad merupakan
salah satu alat penggali hukum syara’ untuk dapat mengaplikasikan setiap hukum
yang terkandung dalam nash-nash tersebut, agar relevan dengan permaslahan hukum
yang ada di masyarakat.
b. Kedudukan hasil ijtihad
Hasil ijtihad merupakan pendapat yang
bersifat zanni ( dugaan kuat ). Hasil ijtihad itu mempunyai akibat hukum, baik
bagi orang yang bertanya maupun bagi mujtahidnya sendiri. Sedangkan bagi kaum
muslimin, hasil ijtihad itu tidak mengikat dan tidak mengharuskan orang lain
untuk mengikutinya. Bahkan pendapat hasil ijtihad seseorang, tidak menghalangi
orang lain untuk berijtihad dan menghasilkan pendapat yang berbeda.
Kecuali seorang gadli atau hakim yang telah memutuskan hukum berdasarkan ijtihadnya sendiri tidak
boleh membatalkan keputusanselama keputusan pertama tidak
menyalahi nash atau dalil qath'i.
Sifat dasar ijtihad yang demikian
itu, membolehkan seorang mujtahid atau orang lain untuk meninjau ulang atau
melakukan ijtihad baru untuk menetapkan hukum baru. ( M. Mahrus As’ad : 2006,
hal 46 ).
4. Syarat-syarat mujtahid
Seseorang diperbolehkan melakukan
ijtihad bila syarat-syarat ijtihad dipenuhi. Syarat-syarat tersebut terbagi
menjadi tiga, yaitu :
a. Syarat umum
1). Beriman
2). Mukallaf
3). Memahami masalah
b. Syarat khusus
1). Mengetahui ayat-ayat
Al-Qur’an yang berhubungan dengan masalah yang dianalisis, dalam hal ini
ayat-ayat ahkam, termasuk asbabul nuzul, musytarak, dan sebagainya.
2). Mengetahui sunnah-sunnah Nabi
yang berkaitan dengan masalah yang dianalisis, mengetahui asbabul wurud, dan
dapat mengemukakan hadit-hadits dari berbagai kitab hadits seperti Shahih
Bukhori, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud dan lain-lain.
3). Mengetahui maksud dan rahasia
hukum islam, yaitu kemaslahatan hidup manusia di dunia dan akhirat.
4). Mengetahui kaidah-kaidah
kulliyah, yaitu kaidah-kaidah yang diistinbathkan dari dalil-dalil syara’.
5). Mengetahui kaidah-kaidah Bahasa
Arab, yaitu nahwu, sharaf, balaghah, dan sebagainya.
6). Mengetahui ilmu ushul fiqih,
yang meliputi dalil-dalil syar’I dan cara-cara mengistinbathkan hukum.
7). Mengetahui ilmu mantiq.
8). Mengetahui penetapan hukum
asal berdasarkan bar’ah ashliyah.
9). Mengetahui soal-soal ijma’,
sehingga hukum yang ditetapkan tidak bertentangan dengan ijma’.
c. Syarat pelengkap
1). Mengetahui bahwa tidak ada dalil
qath’I yang berkaitan dengan masalah yang akan ditetapkan hukumnya.
2). Mengetahui masalah-masalah yang
diperselisihkan oleh para ‘ulama’dan yang akan mereka sepakati.
3). Mengetahui bahwa hasil ijtihad
itu tidak bersifat mutlak. ( HM. Suparta :2006, hal 88-89 ).
5. Tingkatan-tingkatan mujtahid
Tingkatan ini sangat bergantung pada
kemampuan, minat dan aktivitas yang ada pada mujtahid itu sendiri. Secara umum
tingkatan mujtahid ini dapat dikelompokkan menjadi empat macam, yaitu :
a. Mujtahid Muthlaq atau Mustaqil, yaitu seorang mujtahid yang
telah memenuhi persyaratan ijtihad secara sempurna dan ia melakukan ijtihad
dalam berbagai hukum syara’, dengan tanpa terikat kepada madzhab apa pun.
Seperti madzahibul arba’ ( Imam Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan Ahmad bin Hambal
).
b. Mujtahid Muntasib, yaitu mujtahid yang memiliki syarat-syarat
ijtihad secara sempurna, tetapi dalam melakukan ijtihad dia menggabungkan diri
kepada suatu madzhab dengan mengikuti jalan yang ditempuh oleh madzhab itu.
Sekalipun demikian, pendapatnya tidak mesti sama dengan pendapat imam madzhab
tersebut.
c. Mujtahid Fil Mazhabih, yaitu mujtahid yang dalam melakukan ijtihad ia mengambil metode yang digunakan oleh Imam Mazhab tertetu
dan ia juga mengikuti Imam Mazhab dalam
masalah furu'. Terhadap masalah-masalah yang belum ditetapkan
hukumnya oleh Imam Mazhabnya, terkadang ia melakukan ijtihad sendiri.
d. Mujtahid Murajjih, atau dalam istilah lain orang yang mentarjih, yaitu
mujtahid yang dalam menggali dan menetapkan
hukum suatu perkara didasarkan kepada hasil tarjih (memilih yang lebih kuat) dari pendapat imam-imam mazhabannya tentunya dengan mengambil dasar hukum yang
lebih kuat.
5. Penerapan hasil ijtihad
Pada garis
besarnya ayat-ayat Al-Qur'an dapat dibedakan atas Ayat Muhkamat dan Ayat Mutasyabihat. Ayat Muhkamat adalah
ayat yang sudah jelas dan terang
maksudnya hukum yang dikandungnya sehingga tidak memerlukan penafsiran atau interpretasi. Pada umumnya ayat
muhkamat ini bersifat perintah
seperti perintah menegakkan sholat, puasa, menunaikan zakat, ibadah haji. Sedangkan Ayat Mutasyabihat adalah ayat yang memerlukan penafsiran lebih lanjut walaupun dalam bunyinya sudah jelas
mempunyai arti, seperti ayat-ayatmengenai
gejala-gejala alam yang terjadi setiap hari. Dengan ayat-ayat mutasyabihat mengisyaratkan kepada kita bahwa
Al-Qur'an mergajarkan kepada manusia mempergunakan akalnya, mengamati dengan
benar, harus berpikir dan
bertanya secara tuntas tentang segala sesuatu yang diamatinya.
Demikian juga dalam Al-qur'an
dijumpai dalil-dalil yang bersifat Qoth'i dan dzonni. Dalil Qoth’i adalah
dalil yang sudah jelas hukumnya dan tidak diperlukan penafsiran.
Sedangkan Dalil dzonni adalah belum jelas hukumnya untuk itu
dibutuhkan penjelasan dan penafsiran, hal demikian bermuara untuk menggunakan akal untuk memecahkannya
dan yang tidak kalah penting munculnya
peristiwa baru yang sebelumnya belum pernah terjadi dan membutuhkan status hukum. Misalnya : Bagaimana hukumnya bayi tabung, cangkok mata, cloning manusia, donor Darah dll.
Dasar menggunakan akal untuk
menetapkan hukum adalah :
1. Ketetapan Al-Qur'an mengenai landasan musyawarah dalam
menetapkan sesuatu:
Artinya : ". ... Sedangkan urusan
mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka (As-Syura :
38).
2. Allah memerintahkan dalam Al-Qur'an untuk mengembalikan segala pertentangan dan silang pendapat
kepada ulil amri, yaitu orang-orang yangmemiliki tingkat pemahaman syari’ah yang tinggi dan menguasai tata
cara menetapkan hukum.
3. Adanya ketegasan Nabi kepada para
sahabatnya agar berijtihad dan merumuskan ketetapan hukum melalui pemikiran
dalam masalah yang tidak terdapat hukumnya dalam
Al-Qur'an maupun as-sunnah. Seperti dalam hadits saat terjadi dialog antara nabi dengan Mu'adz bin jabal
cukup memperkuat mengenai kedudukan akal
itu. ( Muzilanto : 2008, hal 29-30 ).
Di dalam menerapkan hasil ijtihad
ada beberapa macam, yaitu tarjih, talfiq, ittiba’, taqlid, dan fatwa.
Masing-masing penerapannya memiliki perbedaan dan persamaan. Para ’ulama’
berbeda pendapat mengenai penerapan beberapa jenis hasil ijtihad tersebut
sebagai berikut :
B. Tarjih dan Talfiq
1. Tarjih
a. Pengertian tarjih
Menurut bahasa, tarjih adalah ”melebihi” sesuatu,
sedangkan menurut istilah tarjih menguatkan salah satu dalil atas dalil
lainnya. Maksudnya memilih dalil yang kuat diantara dalil-dalil yang tampak
berlawanan atau tidak sama terhadap satu hukum yang sama. Dalil yang lebih kuat
disbut rajih dan dalil yang lemah disebut marjuh.
Berdasarkan uraian di atas, para ahli Ushul Fiqih
memberikan rumusan Tarjih sebagai berikut :
Artinya : "Tarjih adalah menguatkan salah satu dalil dari dua dalil yang bertentangan terhadap yang lain sehingga
dapat diketahui manayang lebih
kuat kemudian diamalkan dan dikesampingkan (ditinggalkan) yang
lainnya (yang Iemah)".
Tarjih dibenarkan dalam menetapkan
hukum syar'i berdasarkan ijma' sahabat. Misalnya wajib berpuasa bagi orang yang junub sampai shubuh
walaupun ada hadits yang menerangkan bahwa orang yang junub sampai shubuh puasanya batal. Kedua hadits itu
adalah sebagai berikut :
Artinya : "Telah bersabda Rasulullah SAW barang siapa pada waktu
subuh dalam keadaan junub, maka tidak
sah puasanya". (HR. Ahmad dan lbnu Habban).
Hadits yang pertama diriwayatkan dari
isteri-isteri Nabi sedang hadits kedua diriwayatkan dari Abu Hurairah. Hadits pertama Iebih kuat,
sehingga ditetapkan sebagai dasar hukum
karena diriwayatkan dari istri-istri Nabi yang menyaksikan sendiri apa yang diriwayatkannya itu.
b. Dalil-dalil yang ditarjihkan
1) Dalil yang ditarjih itu sama
kepastian kekuatannya, seperti : Al-Qur'an dengan Al-Qur'an, Al-Qur'an dengan Hadits mutawatir, hadits ahad dengan
hadits ahad.
2) Dalil yang berlawanan sama dalam hukumnya,
waktunya, tempatnya dan arah yang
dimaksudnya.
2. Talfiq
a. Pengertian talfiq
Menurut bahasa talfiq adalah
menyambung dua tepi yang bebeda. Seperti mempertemukan dua tepi kain kemudian
menjahitnya. Sedangkan menurut istilah talfiq adalah mengikuti suatu hukum
dengan mengambil pendapat dari berbagai madzhab dengan tujuan agar hukum
tersebut dapat lebih ringan. Talfiq dalam rumusan ushul fiqih berarti
mengambil beberapa hukum sebagai dasar beramal dari berbagai
madzhab atau pendapat yang berbeda.
Contoh, seseorang berwudlu dengan
tidak menggosok anggota wudlu, menurut Imam Syafi'i wudlunya sah sedangkan menurut Imam Malik tidak
sah, kemudian ia menyentuh wanita, menurut
Imam Syafi'i wudlunya batal sementara
menurut Imam Malik tidak batal. Jika kemudian ia sholat tidak sah. Menurut Imam
Syafi'i karena wudlunya batal dengan menyentuh
wanita, sedangkan menurut Imam Malik tidak sah karena wudlunya batal dengan tidak menggosok anggota wudlu.
b. Hukum talfiq
1). Contoh di atas memberikan gambaran bahwa penggabungan
pendapat sebagai dasar beramal mengakibatkan
amalannya batal / tidak sah. Maka talfiq tidak dibenarkan dalam ajaran syari'at
Islam.
2). Talfiq dibenarkan sepanjang
tidak berakibat batalnya amaliah, demikian pula perpindahan madzhab yang lain dalam masalah yang berbeda tetap dibenarkan, seperti wudlu mengikuti pendapat Imam
Syafi'i. Sholatnya mengikuti pendapat Imam Malik sedang ketentuan
halal dan haramnya makanan mengikuti pendapat Imam Hambali.
3. Perbandingan antara tarjih
dan talfiq
Di antara tarjih dan talfiq terdapat
persamaan dan perbedaan, yaitu :
a.
Persamaan keduanya adalah masalah
yang hukumnya akan ditetapkan mencakup masalah-masalah yang masih dalam lingkup
perbedaan pendapat ’ulama’, baik dikarenakan terdapatnya nash lebih dari satu
atau perselisihan pendapat ’ulama’. Dan termasuk dalam bagian ijtihad.
b.
Perbedaan keduanya adalah kalau
tarjih menetapkan salah satu dalil yang paling kuat dan tidak ada kemungkinan
mencari yang lebih ringan dari dalil-dalil yang ada, sedangkan talfiq
menggabungkan beberapa pendapat madzhab dan ada kecendrungan mencari yang lebih
ringan dari beberapa pendapat madzhab.
C. Ittiba’ dan Taqlid
1. Pengertian ittiba’ dan
taqlid
a. Ittiba’
Artinya : "Menerima atau mengikuti
pendapat perbuatan seseorang dengan mengetahui dasar pendapat atau perbuatannya itu".
b. Taqlid
Artinya : "Menerima atau mengikuti
pendapat perbuatan seseorang tanpa mengetahui dasar pendapat atau perbuatannya itu".
2. Hukum ittiba’ dan taqlid
Artinya : "Katakanlah jika kamu
(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengampuni
dosa-dosamu". (Ali Imran : 31)
Taqlid adalah perbuatan yang tercela dalam agama
(Islam) terutama bagi orang yang mempunyai kemampuan
beristidlal.
Firman Allah SWT :
Artinya : "Dan apabila telah
dikatakan kepada mereka : ikutilah
apa yang diturunkan Allah,
mereka menjawab : "(tidak)
akan tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan)
nenek moyang kami". (Apakah
mereka akan mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui sesuatu apapun dan tidak
mendapat petunjuk". (Al-Bagarah
: 170).
3. Perbandingan
antara ittiba’ dan taqlid
Secara
khusus dapat diketahui bahwa ittiba’ dan taqlid memiliki persamaan dan
perbedaan sebagai beikut :
a. Persamaannya keduanya perbuatan mengikuti.
b. Perbedaannya kalau ittiba’ seseorang yang
mengikuti itu mengetahui sumber yang dijadikan dasar oleh mujtahid yang
diikutinya. Sedangkan kalau taqlid seseorang yang meniru itu tidak mengetahui
sumber yang dijadikan daras oleh mujtahid yang ditirunya.
D. Fatwa
1. Pengertian fatwa
Yang dimaksud dengan fatwa adalah jawaban berdasarkan
ijtihad terhadap pertanyaan mengenai hukum suatu peristiwa yang belum jelas
hukumnya. Orang yang menyampaikan fatwa disebut mufti dan biasanya merupakan
tokoh agama dan ’ulama’.
2. Syarat-syarat mufti
Mufti menjadi panutan masyarakat kaum muslimin, karenanya
harus memiliki syarat-syarat sebagai berikut :
a. Menguasai hukum dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits
b. Niyatnya semata-mata mencari ridlo Allah SWT.
c. Berakhlak mulia, sabar, mampu menguaisai diri,
bijaksana, dan berwibawa
d. Mengetahui ilmu sosial.
3. Perbandingan hakim dan mufti
Ada beberapa persamaan dan perbedaan antara hakim dan
mufti sebagai berikut :
a. Persamaan
1). Hakim dan mufti sama-sama mujtahid
2). Hakim dan mufti orang yang mengetahui dan
memahami masalah yang diselesaikan
3). Hakim dan mufti adalah orang yang mengetahui
kondisi sosial masyarakat yang dihadapi.
b. Perbedaan
1). Persoalan yang dihadapi hakim telah dibatasi
oleh berbagai ketentuaan yang sudah ditetapkan oleh undang-undang, sedangkan
persoalan yang dihadapi mufti bebas
2). Keputusan hakim harus dilaksanakan oleh
penggugat dan tergugat, sedangkan fatwa mufti boleh dilaksanakan boleh tidak
diserahkan kepada orang yang meminta fatwa tersebut
3). Keputusan hakim dapat membatalkan fatwa,
sedangkan fatwa tidak dapat membatalkan keputusan hakim. ( Wawan Djunaidi,
2008, hal 74-75 ).
UJI KOMPETENSI PELENGKAP SUMBER HUKUM ISLAM
JAWABLAH PERTANYAAN-PERTANYAAN DI BAWAH INI DENGAN BENAR!
1. Jelaskan obyek ( masalah ) yang menjadi wilayah pengetrapan ijtihad!
2. Jelaskan hukum ijtihad menurut pandanagan Islam!
3. Sebutkan dan jelaskan tingkatan-tingkatan mujtahid yang saudara ketahui!
4. Jika ada dua dalil yang sama-sama qoth’i secara lahiriyah bertentangan, maka
bagaimana cara menetapkan hukumnya? Jelaskan beserta alasan-alasannya!
5. Sebutkan syarat-syarat dalam mentarjih!
6. Jelaskan pengertian talfiq menurut istilah!
7. Buatlah sebuah contoh talfiq yang tidak dibenarkan dalam pandangan
syari’at Islam!
8. Lengkapilah kaidah di atas dengan harakat dan terjemahnya!
9. Buatlah sebuah contoh ittiba’ dalam ibadah mahdhah!
10. Bolehkah seseorang bertaqlid dalam hukum syar’i? Jelaskan beserta dalil
nashnya!
11. Jelaskan pengertian taqlid menurut istilah!
12. Jelaskan pengertian fatwa menurut istilah!
13. Jelaskan penyebutan nama orang yang melakukan ijtihad dan pemberi
fatwa!
14. Jelaskan kedudukan hasil fatwa dalam pengetrapan hukum bagi kaum
muslimin!
15. Buatlah sebuah contoh fatwa MUI yang saudara ketahui!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar